Haiii, Guys..
Makasih masih setia menjadi penyimak Official Blog Mading Moedikal..
Kali ini kita akan mengulas tentang beberapa asal usul nama kelurahan di daerah Kota Pekalongan, nih..
Simak terus yaaaa...
Dibalik Uniknya Nama Desa Di Kota Pekalongan
- Desa Nayontaan
Kelurahan Noyontaan
terkenal dengan salah seorang habib nya yang sangat karismatik. Tahukah kamu
jika Noyontaan dahulunya adalah kampung arab di pekalongan? Dahulu hidup
seorang pemuka dan penyiar agama bernama Ki Ageng Nayontoko, beliau merupakan
penyebar agama Islam yang berasal dan kelompok masyarakat keturunan arab yang
pertama di pekalongan sekitar abad 18M. Dan saat ini sudah ada 4 tingkat generasi
keturunan arab di Kota Pekalongan.
- Desa Kandang Panjang
Nah, desa yang kedua yaitu Kandang Panjang, Guys. Konon katanya, dahulu masyarakat Kandang Panjang ini hampir semuanya memiliki ternak kerbau dengan setiap
kandang kerbau ini ukurannya sangat panjang, Jadilah desa ini dinamakan desa
Kandang Panjang.
- Desa Poncol
Desa
Poncol sudah dikenal sejak abad ke-16 pada masa Kerajaan Mataram. Ketika itu,
para pasukan di bawah pimpinan Senopati Bahureksa tengah gencar mengejar para
perompak hingga memasuki hutan belantara. Ketika para perompak berhasil
terkejar, terjadilah pertempuran sengit antar kedua belah pihak. Dalam
peristiwa itu, beberapa prajurit gugur di atas tanah moncol.
Tanah moncol yaitu semacam tanah yang menjulang lebih tinggi dari
dataran lain. Peristiwa gugurnya para prajurit kontan membuat Senopati Bahureksa
semakin murka, beliau lantas memerintahkan pasukan yang tersisa untuk menangkap
para perompak yang berhasil melarikan diri. Senopati Bahureksa lantas berseru,
“Kelak, jika keadaan sudah aman tentram, tanah moncol ini akan
menjadi Desa Poncol.”
Saat sinar sang fajar mulai redup dan menghilang
di ufuk barat, Senopati Bahureksa dan pasukannya memutuskan untuk beristirahat
sejenak, menghentikan pengejaran. Saat tengah melepas lelah, Senopati Bahureksa
bertemu dengan seorang kakek yang masih genen atau menghangatkan
tubuh dengan api unggun sambil makan jagung bakar. Senopati Bahureksa lalu
bertanya pada kakek, “Apa nama dukuh ini?” Kakek itu menjawab bahwa ia tidak
tahu, karena di sekitar tanah itu masih tertutupi hutan lebat. Akhirnya
Senopati Bahureksa kembali berujar, “Kelak, apabila tanah ini menjadi dukuh,
berilah nama dukuh Sorogenen.”
Konon, pada waktu itu Poncol dibagi menjadi
beberapa dukuh, antara lain : Dukuh Sorogenen, Poncol, Kuroijo, Pesantren,
Kolekturan dan Bonjongan. Namun, seiring berjalannya waktu, dukuh-dukuh itu
lalu digabungkan menjadi satu dengan nama Desa Poncol. Lurah Desa Poncol yang
pertama adalah Tirtoatmojo. Di sekeliling area tanah moncol akhirnya
dikenal sebagai daerah angker dan membuat warga sekitar enggan untuk datang ke
area itu. Namun, setelah puluhan tahun berlalu, area
tanah moncol tersebut berubah menjadi pemukiman padat penduduk yang
dikenal dengan nama Gang Gumuk. Di tempat itu juga terdapat pohon jati tua yang
tidak pernah mati, sementara di bawah pohonnya banyak batu nisan berserakan.
Untuk Sorogenen sendiri, dulunya pernah dijadikan sebagai makam orang-orang
China sehingga warga sekitar sering menyebutnya denganBong.
Berbagai peristiwa tak terlupakan pernah
menorehkan sejarah tersendiri bagi Desa Poncol, diantaranya seperti kejadian
kebakaran besar yang nyaris menghanguskan separuh desa pada siang hari tanggal
27 September 1961. Dalam waktu beberapa jam, sekitar 500 rumah warga ludes
dilahap si jago merah. Para korban kebakaran akhirnya diungsikan ke dekat
kompleks perkantoran Kecamatan Pekalongan Timur. Mereka mendapat bantuan berupa
rumah sederhana dari pemerintah setempat. Tempat pengungsian tersebut diberi
nama Poncol Baru.
Sementara itu, kehidupan masyarakat Poncol di
tengah hingar bingar modernisasi seperti sekarang ini sebenarnya tidak jauh
berbeda dengan masyarakat Pekalongan pada umumnya. Kesederhanaan, keramahan dan
semangat gotong royong masih terasa kental mewarnai setiap sendi kehidupan
masyarakat Poncol.
Beragam tradisi adat Jawa juga masih terjaga
kelestariannya hingga sekarang. Tradisi tersebut dimulai dari tradisi
mempersiapkan kelahiran sang bayi yang disebut dengan
tradisi tingkepan atau mitoni, di mana tradisi ini dilakukan
saat seorang wanita mencapai usia kehamilan tujuh bulan, dalam ritual ini biasanya
juga dibagikan bubur lolos dan rujak. Bubur lolos bermakna agar proses
kelahiran diberi kelancaran, sedangkan untuk rujak, masyarakat percaya bahwa
apabila rujaknya terasa pedas maka yang akan terlahir adalah bayi laki-laki,
sebaliknya kalau rujak tidak terasa pedas, yang akan terlahir adalah bayi
perempuan. Setelah itu, ada pula tradisipuputan yang dilakukan ketika tali
pusar sang bayi telah lepas atau puput. Orang tua sang bayi juga sekalian
memberi nama untuk bayi tercinta dalam tradisi ini. Kemudian, setelah bayi
berusia sekitar 7 bulan atau bayi pertama kali menginjak tanah diadakan tradisi
lagi bernama tedhak siten. Dalam tradisi tersebut juga dibagikan makanan
srintil, agar sang bayi jalannya bisa semrintil atau lincah.
Kemudian, tradisi yang paling digemari oleh
anak-anak Poncol adalah tradisi udik-udikan. Tradisi ini merupakan tradisi
membagi-bagikan uang receh dengan cara dilempar, yang kemudian akan
diperebutkan oleh para warga dari anak-anak dari orang tua. Semua bergembira ria
menyambut acara semacam ini. Masyarakat Poncol senang sekali
mengadakan udik-udikan sebagai bentuk rasa syukur kepada sang
pencipta. Tradisi ini biasa dilakukan pada acara sunatan, rabu pungkasan,
menyambut kedatangan sang bayi dari klinik bersalin atau rumah sakit serta pada
acara puputan.
Tradisi lain yang masih bisa dijumpai di
kelurahan Poncol adalah tradisi dalam proses pembangunan rumah atau biasa
disebut dengan munggah molo. Munggal molo berarti
menaikkan molo atau memasang bagian rumah yang paling tinggi. Tradisi
ini dilakukan dengan memasang bendera merah putih ukuran sedang di bagian
tengah blandar. Lalu, ditambahkan juga dengan berbagai sesajen seperti
sesisir pisang ambon, seonggok padi yang telah menguning dan seikat tebu, semua
itu diikat dan digantungkan pada blandar. Sebelum prosesmunggal
molo dilaksanakan, digelar acara selamatan terlebih dahulu dengan
mengundang tetangga sekitar rumah. Tradisi semacam ini bertujuan agar rumah
serta para penghuninya senantiasa diberi perlindungan dari sang kuasa.
Sedangkan, pada setiap malam 17 Agustus dalam
rangka memperingati hari kemerdekaan Republik Indonesia, kampung-kampung di
Kelurahan Poncol akan semarak dengan tradisi tirakatan yang digelar
di jalanan dengan dihadiri seluruh warga kampung. Pada awal acara, terdengar
kumandang merdu lagu Indonesia Raya. Setelah itu, dilanjutkan dengan pidato
dari ketua RT setempat, memutar berbagai video perjuangan bangsa Indonesia
melawan para penjajah dan diakhiri dengan makan bersama.
Berbagai tradisi yang masih terjaga eksistensinya
di tengah masyarakat Poncol memiliki filosofi tersendiri menyangkut tahapan
kehidupan manusia. Sebagian besar mengajarkan tentang rasa syukur kepada sang
pencipta dan pentingnya mempertahankan kerukunan antar warga agar tidak
tergerus oleh terjangan gelombang teknologi dan sikap individualisme.
- Banyurip
Banyurip berasal dari bahasa jawa, terdiri
dari 2 kata yaitu banyu dan urip. Banyu berarti air sedangkan urip artinya
hidup. Jadi arti dari kata banyurip adalah air hidup atau air kehidupan.
Banyurip yang sekarang, dahulunya terdiri dari 2 wilayah. Yakni Banyurip Ageng dan Banyurip Alit.
Namun, sejak keputusan walikota di akhir tahun 2014 tentang
penggabungan beberapa kelurahan menjadi satu, kelurahan banyurip ageng dan
kelurahan banyurip alit digabung menjadi satu.
Berdasarkan hasil wawancara dengan warga sekitar, asal-usul dari nama Banyurip ini adalah dahulu konon ada
sumber mata air jernih dan berkhasiat sebagai obat yang berada di kelurahan ini.
Mata air ini tidak menetap di satu tempat, keberadaannya selalu
berpindah-pindah namun masih dalam satu lingkungan kelurahan Banyurip Ageng dan
kelurahan Banyurip Alit. Mata air yang berada di kelurahan Banyurip Ageng lebih
banyak dan berlimpah, sedangkan mata air yang ada di kelurahan Banyurip Alit
lebih sedikit. Mungkin saja hal tersebut yang menjadi pertimbangan para sesepuh
untuk menamakan kelurahan ini Banyurip Ageng (mata air yang banyak atau
berlimpah) dan kelurahan Banyurip Alit (mata air kecil).
Tentang kebenaran adanya mat air tersebut
mungkin memang benar adanya, Waktu itu mata air tersebut tiba-tiba muncul di sebelah
Musholla dekat sawah. Berita tentang munculnya mata air tersebut langsung ramai
dibicarakan, masyarakat kelurahan Banyurip dan sekitarnya ramai-ramai
mendatangi mata air tersebut untuk mengambil dan meminumnya untuk penyembuhan
penyakit. Bahkan berita munculnya mata air itu didengar
pula oleh masyarakat kota Batang dan Pemalang.
- Desa Pasirsari
Sejarah Pasirsari bermula setelah terjadi peristiwa babat Alas Gambiran, yang menjadi sejarah Pekalongan oleh tokoh Ki Ageng Bahurekso yang mendapat perintah dari sultan agung sekitar tahun 1628 Masehi. Dahulu kala sebelum bernama Pasirsari. Tempat tersebut merupakan sebuah tempat semacam tanah luas di Pesisir muara sungai, tempat pertemuan antara hulu sungai dan laut. Dahulu jarak antara daratan dengan lautan seakan dekat, sehingga kontur tanahnya adalah tanah berpasir.
Dalam sisi agamis, warga Pasirsari cenderung mengikuti tradisi dari nenek moyangnya, perilakunya mengikuti karakter pendahulunya, hal ini dilihat dari adanya Jamiyah Jamiyah yang selalu mengadakan acara keagamaan, seperti pengajian, yasinan, barzanjinan sampai peringatan khoul waliyullah. Terdapat 2 makam waliyullah di Kelurahan Pasirsari, yaitu Syekh Samsudin yang terletak di Pasirsari Utara Jalan Sutan Syahrir gang Kepuh dan Syekh hasanudin atau yang sering dijuluki dengan nama Mbah Demung yang terletak di Pasirsari Barat Jalan Kh.Samanhudi. Setiap tahun selalu diadakan khoul untuk memperingatinya. Hal ini menunjukkan bahwa Kelurahan Pasirsari menyimpan banyak sejarah sampai makan Wali pun ada didalamnya.
Setelah terjadi peristiwa perang Diponegoro pada tahun 1825-1830 Masehi. Pangeran Diponegoro mengutus seorang tokoh bernama Syekh Syamsudin. beliau di beri tugas oleh Pangeran Diponegoro untuk menyebarkan agama Islam. Syekh Syamsudin juga merupakan tokoh yang melawan kekejaman Belanda pada kala itu. Karena terdesak oleh Belanda, Syekh Syamsudin beserta rombongannya melarikan diri hingga ke suatu tempat di Pekalongan. Beliau beserta rombongannya singgah di suatu tempat dekat muara sungai. Beliau tinggal dan menetap di tempat tersebut bersama rombongannya sambil menyebarkan agama islam di sekitar wilayah tempat tersebut.
Kemudian semakin lama tempat tersebut terus mengalami perkembangan sehingga menjadi suatu Desa atau perkampungan yang penduduknya hidup makmur. Muara sungai tersebut berubah menjadi tempat bersandar kapal perdagangan dan kapal penyebrangan. Sehingga Syekh Syamsudin memberi nama Desa tersebut Desa Pasirsari. Yang berasal dari dua kata yaitu kata “ Pasir “ dan “ Sari “. Kata “ Pasir “ diambil karena tempat tersebut dahulu adalah daratan berpasir dekat muara sungai. Dan kata “ Sari “ merupakan kata yang memiliki arti “ inti/ pusat “. Desa Pasirsari mempunyai sebuah arti yaitu Desa dataran berpasir yang menjadi inti atau pusat kehidupan penduduk yang makmur. Dan muara sungai tempat bersandar kapal-kapal tersebut diberi nama Sabrang yang memiliki arti seberang. Karena muara sungai menjadi tempat penyebrangan kapal-kapal.
Tahun demi tahun berlalu, Syekh Syamsudin akhirnya wafat. Beliau dimakamkan di Desa Pasirsari tersebut. Makamnya berada dibawah pohon besar yang sering disebut pohon Kepuh. sekarang makamnya dapat di jumpai di gang kepuh Pasirsari utara. Setiap setahun sekali diadakan acara khoul di makam tersebut. Karena pengaruh perubahan alam muara sungai tersebut mengering dan menjadi daratan, daratan tersebut yang kini menjadi persawahan di Pasirsari bagian utara atau yang sering di sebut Pasirsari sabrang. Sekarang Muara tersebut kini berpindah berada di sebelah utara Kelurahan Jeruk Sari. Namun ada juga pendapat lain dari beberapa tokoh masyarakat warga Pasirsari utara yang bertempat tinggal dekat dengan makam Syekh Samsidin, mengatakan bahwa dahulu Pasirsari merupakan tanah yang masih jarang penghuninya, dimana ada aliran sungai yang aliran sungai itu selalu mengalir dengan jernih, sehingga pasir yang terbawa arus mengendap didaerah itu, hingga disebutlah pasirsari, kata “sari” merupakan kata yang menunjukkan lestari dan makmur. Semua itulah yang menjadi sebab pemberian nama desa pasirsari.
- Dukuh Pesindon
Konon
menurut penuturan sesepuh kampung (belum diketahui secara pasti tahunnya)
kampung Pesindon merupakan sebagian area perkuburan muslim.
Asal
usul nama Pesindon sendiri, berasal dari kata "pesinden", dimana
pada zaman dulu seberang kampung Pesindon (atau sekarang daerah Pasar Anyar)
bernama "kenayagan" atau "nagoyo", yang banyak ditinggali
oleh para penabuh gamelan. Daerah kampung Pesinden (seberang kampung Nagoyo)
dari tahun ketahun berangsur menjadi pemukiman orang-orang juragan (batik), dan
daerah perkuburan dikampung itu lebih dikenal dengan kampung
"jaratan". Selain itu, di sekitar Pesindon juga terdapat kampong
Pedalangan yang notabenenya berasal dari kata "dalang". banyaknya
kampung seni wayang, menandakan bahwa bentuk kesenian gending mengiringi seni
wayang pada zaman itu yang digunakan sebagai sarana syiar agama Islam di
Kota Pekalongan.
Source :
http://pesindonrt04rw13.blogspot.co.id/2017/02/sejarah-singkat-kampung-pesindon.html
https://vinarochmah.wordpress.com/2017/04/13/asal-usul-pasirsari/
(Dengan Penyesuaian)
Itu belum apa-apa, Guys..
Masih buanyaaaak banget sejarah nama desa yang belum dibahas di artikel kita kali ini.
Kalo ada waktu, kita sambung lagi, deehh..
Tapi kita nggak bisa janji yaaa..
Hehehe..
Sampai jumpa di artikel berikutnya,
0 komentar:
Posting Komentar